Tingginya Kasus Kekerasan di Samarinda, DPRD Desak Evaluasi Layanan dan Rumah Aman

Gemanusantara.com – Lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Samarinda menjadi sorotan serius DPRD setempat. Sepanjang Januari hingga Maret 2025, tercatat 50 kasus kekerasan terjadi di wilayah ini, menjadikan Kalimantan Timur sebagai provinsi dengan angka kekerasan tertinggi secara nasional.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Sri Puji Astuti, menyatakan bahwa meski peningkatan pelaporan bisa dimaknai sebagai tanda keberanian korban untuk bersuara, pemerintah daerah tidak boleh sekadar mencatat dan mengarsipkan. Ia mendesak agar perlindungan konkret harus segera diperkuat melalui pendekatan menyeluruh.
“Melaporkan saja tidak cukup. Korban butuh tempat yang aman, perlindungan psikologis, dan keberlanjutan pemulihan. Jangan sampai laporan hanya jadi angka statistik tanpa solusi,” ujar Sri saat diwawancarai usai mengikuti pertemuan koordinasi perlindungan anak.
Sri menilai salah satu kelemahan utama saat ini terletak pada kesiapan fasilitas rumah aman yang dikelola oleh UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Menurutnya, fasilitas tersebut belum memenuhi standar minimum pelayanan bagi korban kekerasan, baik dari sisi keamanan maupun akses layanan pendukung.
“Rumah aman seharusnya berada di lokasi strategis dan dilengkapi pengamanan memadai. Harus ada petugas tetap, tenaga psikolog, akses ke pendidikan darurat, dan pendampingan hukum yang jelas,” katanya.
Lebih lanjut, ia menyarankan Pemkot Samarinda untuk meninjau ulang keberadaan rumah aman tersebut, serta mengalokasikan anggaran khusus guna meningkatkan mutu layanan perlindungan bagi korban kekerasan. Ia juga mendorong kolaborasi lintas sektor agar permasalahan ini tidak ditangani secara sektoral semata.
“Kekerasan ini persoalan lintas bidang. Perlu sinergi antara Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, kepolisian, dan lembaga swadaya masyarakat. Kalau tidak, korban akan terus terabaikan,” tegas legislator dari Fraksi Demokrat tersebut.
DPRD Samarinda berkomitmen untuk memperkuat fungsi pengawasan dan advokasi terhadap isu-isu kekerasan berbasis gender dan anak. Dengan sistem perlindungan yang kuat, diharapkan korban tidak lagi merasa sendiri dalam menghadapi trauma yang mereka alami.
[ADV | DPRD SAMARINDA]