SAMARINDA

Dinamika Iklim Ekuator Jadi Tantangan Samarinda Hadapi Potensi Bencana Akhir Tahun

Kepala BPBD Kota Samarinda, Suwarso. (Gemanusantara.com)

Gemanusantara.com– Kota Samarinda kembali dihadapkan pada tantangan khas wilayah ekuator: dinamika cuaca yang cepat berubah dan sulit diprediksi. Meski proyeksi curah hujan akhir 2025 masih berada dalam kategori normal, potensi bencana hidrometeorologi tetap membayangi seiring tingginya kandungan uap air di atmosfer.

Berdasarkan analisis cuaca yang dirujuk pemerintah daerah dari BMKG, curah hujan harian pada Desember 2025 diperkirakan berada di kisaran 50 mm. Intensitas hujan diprediksi menurun pada awal 2026 sebelum kembali meningkat pada April. Namun kondisi tersebut dinilai belum sepenuhnya menggambarkan risiko sebenarnya di lapangan.

Kepala BPBD Samarinda, Suwarso, menjelaskan bahwa karakter wilayah ekuator menjadikan variabel cuaca sangat sensitif terhadap perubahan radiasi matahari dan kelembapan udara. Ketika uap air tinggi dan radiasi meningkat, hujan lebat bisa terjadi secara tiba-tiba di luar pola prediksi.

“Kita tidak bisa hanya berpatokan pada angka normal. Secara klimatologis, Samarinda sangat mudah mengalami lonjakan curah hujan dalam waktu singkat,” ujarnya.

Kondisi lingkungan perkotaan turut memperbesar potensi risiko. Alih fungsi lahan, menyusutnya kawasan resapan air, serta meningkatnya kepadatan permukiman di daerah lereng dan bantaran sungai membuat ancaman banjir dan longsor semakin kompleks. Sejumlah titik di Samarinda telah dipetakan sebagai kawasan rawan genangan dan pergerakan tanah.

Dalam beberapa tahun terakhir, bencana hidrometeorologi memang semakin sering dipicu oleh kombinasi faktor iklim ekstrem dan tekanan lingkungan. Tidak hanya intensitas hujan, tetapi juga daya dukung lingkungan yang kian menurun.

Sebagai langkah antisipasi, pemerintah daerah menyiapkan peralatan evakuasi di titik-titik rawan serta memperkuat kesiapsiagaan masyarakat melalui kelurahan tangguh bencana. Namun di sisi lain, tantangan jangka panjang tetap terletak pada upaya menjaga keseimbangan lingkungan kota.

Suwarso menegaskan bahwa persoalan lingkungan tidak bisa dipisahkan dari risiko bencana di perkotaan. “Kalau kawasan resapan terus berkurang sementara hujan datang dengan intensitas tinggi, maka risiko banjir dan longsor pasti ikut meningkat. Ini bukan hanya soal cuaca, tapi juga bagaimana kita mengelola ruang dan lingkungan,” tegasnya.

Dari sisi kebijakan, anggaran mitigasi pada APBD 2026 tetap disiapkan dengan fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar warga terdampak serta penguatan logistik banjir. Program bantuan rumah terdampak bencana juga disiapkan sebagai langkah pemulihan pascabencana.

Meski berbagai upaya dilakukan, perubahan iklim global yang kian nyata membuat risiko bencana di wilayah perkotaan seperti Samarinda tidak bisa lagi dipandang sebagai kejadian musiman semata, melainkan sebagai dampak dari krisis lingkungan yang terus berkembang. (Nit)

Related Articles

Back to top button