Dewan Kaltim Desak Regulasi STS karena Daerah Menanggung Risiko Tanpa Mendapat PAD

Gemanusantara.com – Aktivitas Ship to Ship (STS) atau bongkar muat di Muara Berau kembali disorot DPRD Kaltim. Meski kegiatan tersebut berlangsung dalam wilayah kewenangan provinsi, tidak ada satu rupiah pun yang masuk sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD), sementara berbagai risiko tetap menjadi tanggungan daerah.
Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud, menjelaskan bahwa setiap bulan sekitar 150 kapal melakukan aktivitas di area Muara Berau. Dengan muatan rata-rata 75.000 ton per kapal dan nilai komoditas sekitar Rp1 juta per ton, perputaran ekonominya diperkirakan mencapai Rp7–Rp8 triliun per bulan.
Ia menilai nilai transaksi yang fantastis tersebut kontras dengan kenyataan bahwa tidak ada mekanisme pemungutan ataupun regulasi yang memungkinkan daerah memperoleh pemasukan dari aktivitas tersebut. Hal ini, katanya, membuat Kaltim berada pada posisi yang tidak menguntungkan.
“Sangat disayangkan, perputaran ekonominya besar sekali, tapi daerah justru tidak mendapatkan apa-apa. Kita hanya menerima beban risikonya,” ujarnya dalam kutipan lanjutan yang disampaikan kepada media.
Selain Muara Berau, kondisi serupa juga terjadi di Muara Jawa yang mencatat 10 hingga 30 kapal per bulan. Aktivitas bongkar muat di wilayah itu pun belum memberikan kontribusi nyata bagi PAD Kaltim.
Padahal, setiap kegiatan STS membawa potensi dampak lingkungan seperti tumpahan batubara, kerusakan habitat perairan, dan risiko kecelakaan pelayaran. Tanggung jawab penanganan dampak tersebut jatuh kepada daerah, meski tidak memperoleh imbal balik finansial dari aktivitas ekonomi yang berlangsung.
Hasanuddin mendorong Pemprov Kaltim segera membuat skema regulasi yang lebih kuat untuk memastikan kegiatan STS dapat memberikan nilai tambah nyata bagi daerah, baik melalui pengaturan tarif, kerja sama operator, maupun mekanisme perizinan yang lebih terstruktur.
[ADV | DPRD KALTIM]



