Bukan Virusnya Saja: Dinkes Samarinda Soroti Stigma yang Buat Pasien HIV Takut Periksa

Gemanusantara.com– Dinas Kesehatan Samarinda menilai bahwa salah satu hambatan terbesar dalam penanganan HIV bukan hanya virusnya, tetapi sikap masyarakat yang masih sarat stigma. Banyak pasien memilih datang ketika kondisinya sudah parah karena takut dijauhi lingkungan.
Hingga Oktober 2025, terdapat 2.225 pasien HIV yang sedang dalam penanganan di Samarinda, dengan 444 kasus baru muncul sepanjang tahun dan 98 pasien meninggal. Kepala Dinas Kesehatan Samarinda, dr Ismed Kusasih, menyebut sebagian besar keterlambatan penanganan dipicu ketakutan sosial, bukan kurangnya layanan. “Masyarakat masih menganggap HIV sebagai aib. Akibatnya, orang takut tes dan datang ketika sudah terlambat,” ujarnya, Senin (1/12/2025).
Padahal, menurut Ismed, HIV tidak menular melalui pelukan, salaman, makan bersama, atau penggunaan fasilitas publik yang sama. “Yang bahaya itu perilaku berisiko, bukan interaksi sosial biasa. Tapi stigma membuat pasien merasa harus menyembunyikan kondisinya,” jelasnya.
Stigma tersebut juga berdampak pada proses deteksi. Banyak pasien baru diketahui positif HIV setelah memeriksakan keluhan lain, seperti batuk berkepanjangan atau demam, yang kemudian membuka temuan infeksi HIV. “Ini memperlihatkan betapa kuatnya rasa takut masyarakat terhadap label sosial,” tambahnya.
Meski bantuan obat dari sumber global berkurang tahun ini, Samarinda tetap menggerakkan 26 puskesmas serta klinik swasta untuk menyediakan layanan pengobatan HIV. Namun Ismed menegaskan, tanpa dukungan sosial, layanan medis tidak akan optimal. “Kita bisa siapkan fasilitas sebanyak mungkin, tapi kalau orang takut datang, tidak ada artinya.”
Ia menutup dengan pesan yang menyoroti pentingnya perubahan cara pandang masyarakat. “Jangan jauhi orangnya, jauhi penyakitnya. Jika stigma tidak dihapus, penanganan HIV tidak akan pernah maksimal.” (nit)



