
Gemanusantara.com– Selama bertahun-tahun, ayah diposisikan sebagai pencari nafkah, sementara urusan pengasuhan dan pendidikan anak dianggap wilayah ibu. Pembagian peran yang lahir dari budaya patriarki itu kini menimbulkan konsekuensi serius: jutaan anak tumbuh tanpa kehadiran emosional ayah, meski keluarga mereka tampak utuh.
Data Pendataan Keluarga 2025 mencatat, 25,8 persen anak Indonesia berada dalam kondisi fatherless. Fenomena ini tidak selalu berkaitan dengan ketiadaan ayah secara fisik, melainkan absennya peran ayah dalam relasi sehari-hari anak.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) Samarinda, drg Deasy Erviani, menyebut fatherless sebagai dampak dari pola pengasuhan yang timpang dan telah lama dinormalisasi.
“Banyak ayah merasa cukup dengan bekerja. Padahal, anak juga membutuhkan kehadiran, perhatian, dan kedekatan emosional dari ayah,” ujar Deasy, Rabu (17/12/2025).
Kondisi tersebut, menurut Deasy, berdampak langsung pada rasa aman, kasih sayang, dan kepercayaan diri anak. Anak yang tidak memiliki kedekatan emosional dengan ayah cenderung kehilangan figur pelindung dalam fase penting pertumbuhannya.
Realitas inilah yang mendorong Pemerintah Kota Samarinda mengambil langkah intervensi kultural, bukan melalui sanksi, melainkan simbol. Lewat Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak ke Sekolah (GEMAR), pemerintah daerah mendorong ayah masuk ke ruang yang selama ini lebih sering diisi ibu.
Surat edaran tentang GEMAR yang ditandatangani Wali Kota Samarinda Andi Harun ditujukan kepada perangkat daerah, instansi pemerintah dan swasta, satuan pendidikan, hingga media massa. Tujuannya bukan memaksa, melainkan menggugat kebiasaan lama.
“Ini bukan program dengan sanksi. Kami tidak bermaksud mengintervensi pola asuh keluarga, tetapi mengajak para ayah menyadari bahwa pengasuhan adalah tanggung jawab bersama,” tegas Deasy.
Pemilihan momen pengambilan rapor dinilai strategis karena bersentuhan langsung dengan psikologi anak. Kehadiran ayah di sekolah menjadi pesan simbolik bahwa pendidikan dan masa depan anak juga menjadi urusan laki-laki.
“Meski ayah tidak selalu memahami detail akademik, kehadirannya memberi dukungan emosional yang sangat kuat bagi anak,” tambahnya.
Kebijakan ini juga menjadi bagian dari implementasi Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI), program nasional Kemendukbangga/BKKBN berbasis data Pendataan Keluarga 2024 yang dirilis pada 2025.
Dalam kebijakan ini, peran ayah tidak dimaknai secara sempit. Figur wali seperti paman atau kakek juga dapat menggantikan peran ayah kandung jika sudah tidak ada.
“Yang terpenting adalah kehadiran figur ayah dalam kehidupan anak. Itu investasi jangka panjang bagi masa depan mereka,” pungkas Deasy.
Dengan alur seperti ini, kebijakan GEMAR bukan berdiri sendiri, melainkan jawaban atas persoalan budaya patriarki yang selama ini menjauhkan ayah dari pengasuhan. Sebab, selama ayah terus dibebaskan dari ruang emosional anak, fatherless akan tetap lahir bahkan di rumah yang terlihat utuh. (Nit)