Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Rahmat Bagja, mengungkapkan temuan terkait dugaan pelanggaran dalam pelaksanaan pemilihan umum di Kuala Lumpur, Malaysia. Dalam sebuah konferensi pers yang diadakan pada Selasa (27/2/2024), Bagja menyoroti adanya 23 ribu surat suara yang dikirimkan melalui pos sudah dalam keadaan tercoblos.
Menurut data yang dipaparkan oleh Bagja, terdapat sejumlah 156.367 Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menggunakan metode pos untuk memberikan suaranya. Namun, terungkap pula bahwa ada 82 ribu alamat pengiriman surat suara yang tidak jelas, mengindikasikan adanya masalah serius dalam pendataan dan distribusi surat suara.
“Kalau kita sampaikan misalnya laporan teman-teman di lapangan. Misalnya pos 156.367 ini DPT-nya. Jadi alamat yang nggak jelas 81.253, itu saja sudah kebayang. Kemudian yang terkirim itu 51.360, yang return dan tercoblos 23.754. Dari situ saja sudah jadi persoalan, oleh sebab itu perlu review ulang terhadap hal ini,” jelas Bagja.
Sebagai respons atas temuan ini, Bawaslu merekomendasikan peninjauan ulang terhadap sistem pengiriman surat suara via pos di Kuala Lumpur. Rekomendasi ini didasari oleh permasalahan pendataan yang ditemukan, yang mempengaruhi integritas proses pemungutan suara.
“Kita telah merekomendasikan untuk kemudian mereview sistem pos untuk Kuala lumpur, kenapa? Karena dimulai dari pendataan yang bermasalah,” jelasnya.
Selain itu, sebelumnya Organisasi Migrant CARE juga telah melaporkan dugaan pelanggaran administrasi yang terjadi saat hari pemungutan suara di Malaysia.
Menurut Muhammad Santosa, staf Migrant CARE, terdapat Warga Negara Indonesia (WNI) yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena masih terdaftar di TPS dalam negeri, meskipun mereka telah menetap di Malaysia lebih dari dua tahun.
“Ada yang terdaftar, (WNI) dari Madura itu TPS-nya itu masih di daerah Madura sana. Ada yang di Ngawi juga kita menemukan juga di Ngawi. Padahal mereka sudah lama di Malaysia,” ungkap Santosa di Jakarta, Selasa (20/2/2024).