
Gemanusantara.com – Gelombang penolakan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXIII/2024 terus mengalir. Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) dengan tegas meminta Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dan Pemerintah untuk tidak melaksanakan putusan tersebut, yang mengatur pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.
Permintaan itu disampaikan Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP IMM, Muhammad Habibi, dalam pernyataan persnya di Jakarta, Senin (4/8/2025). Menurutnya, hasil eksaminasi yang telah dikaji secara akademik oleh DPP IMM menunjukkan bahwa Putusan MK 135 memiliki sejumlah kekeliruan baik dari aspek filosofis, yuridis, maupun sosiologis yang justru bertentangan dengan semangat konstitusi UUD 1945.
Habibi menyoroti keberanian MK yang justru melampaui kewenangannya dengan bertindak sebagai positif legislator, yakni menciptakan norma hukum baru dalam putusannya. Padahal, dalam kerangka hukum tata negara, Mahkamah Konstitusi hanya berperan sebagai negatif legislator yang berwenang membatalkan norma yang bertentangan dengan UUD 1945, bukan merumuskan norma baru.
“Putusan ini bukan sekadar kontroversial, tapi juga mengaburkan batas peran antar-lembaga negara. Kalau MK mulai menciptakan norma, maka fungsi DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk UU jadi tumpang tindih. Ini preseden buruk,” ujar Habibi saat diwawancarai secara terpisah.
Ia juga menyebut bahwa putusan tersebut cacat logika hukum, karena MK dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sistem pemilu lima kotak tidak bertentangan dengan konstitusi, namun tetap menyusun sistem baru berupa Pemilu Nasional dan Daerah. “Ini jelas paradoks. Amar putusannya tidak sinkron dengan pertimbangannya,” jelasnya.
Tak hanya itu, Habibi menyebut pelaksanaan putusan yang didasarkan pada pengajuan judicial review dari Perludem juga keliru. Permohonan tersebut dinilai lebih pantas diajukan melalui jalur legislative review kepada DPR-RI. Ia pun menilai MK telah keliru menerima dan mengabulkan permohonan yang seharusnya tidak masuk ruang kewenangannya.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa sikap DPR dan Pemerintah untuk tidak melaksanakan putusan ini bukan bentuk pembangkangan hukum. “Kalau dasar hukum yang dijadikan pijakan perubahan itu cacat secara konstitusional, maka menolak melaksanakannya adalah bentuk keberanian menjaga konstitusi, bukan membangkang,” tutup Habibi. (Roro)