
Gemanusantara.com– Dugaan penyimpangan dalam proyek pembangunan outbound di Balai Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kaltim semakin menguat setelah laporan resmi terhadap pimpinan CV GJS masuk ke Polresta Samarinda. Laporan tersebut tidak hanya menyangkut tunggakan pembayaran kepada pemborong, tetapi juga membuka dugaan lebih luas terkait tata kelola proyek.
Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Hendri Umar, menegaskan bahwa pihaknya telah mulai bergerak menindaklanjuti laporan yang masuk pada 27 November 2025. Menurutnya, penyelidikan menyasar seluruh pihak yang terlibat, khususnya penyedia proyek dan kontraktor pelaksana.
“Masih dilakukan upaya penyelidikan. Kami akan menelusuri keterangan semua pihak untuk memastikan konstruksi peristiwanya jelas,” kata Hendri, Selasa (2/12/2025).
Ia menegaskan, penyidik Tipikor akan segera memintai keterangan dari BPSDM Kaltim sebagai pengguna anggaran. “Pasti nanti akan kami klarifikasi atau ambil keterangan dari BPSDM,” ujarnya, menekankan pentingnya mendapatkan gambaran utuh terkait pola pembayaran, progres pekerjaan, dan potensi kerugian negara.
Laporan tersebut diajukan pemborong bernama Tutut Caciria, yang mengaku tidak menerima pelunasan senilai Rp146.500.000 dari RS, pimpinan CV GJS, meski proyek outbound telah selesai dikerjakan sejak Maret 2025. Namun persoalan ini berkembang setelah ikut terungkap beberapa dugaan pelanggaran lain seperti penggunaan pinjam bendera dan pengurangan volume pekerjaan yang disebutkan dalam temuan awal Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dugaan penyimpangan itu membuat CV GJS berada di bawah sorotan publik. Terlebih, nilai proyek tersebut mencapai Rp7.199.750.000 dari pagu APBD 2024 sebesar Rp7,5 miliar. Indikasi kekacauan administrasi dan pembayaran membuat pelaksanaan proyek dinilai tidak transparan.
Kepala BPSDM Kaltim, Nina Dewi, sebelumnya menegaskan bahwa pihaknya juga menjadi korban dalam persoalan tersebut. Ia mengatakan bahwa pembayaran kepada kontraktor memang belum diselesaikan karena terdapat sejumlah temuan yang belum beres.
“Kami juga dirugikan. Pembayaran belum dilakukan sepenuhnya karena masih ada ketidaksesuaian di lapangan,” ujarnya.
Nina menambahkan bahwa pihaknya telah mengambil langkah mitigatif dengan menahan lima persen dari nilai HPS proyek, yakni sekitar Rp359 juta. Langkah itu, kata dia, dilakukan sebagai bentuk perlindungan apabila nantinya ditemukan potensi kerugian yang lebih besar.
“Penahanan itu bagian dari mitigasi. Kami harus memastikan pekerjaan benar-benar sesuai sebelum pembayaran diselesaikan,” katanya.
Dengan penyelidikan yang kini berjalan, aparat penegak hukum diharapkan dapat mengungkap akar masalah secara menyeluruh. Selain persoalan pembayaran pemborong, dugaan penggunaan perusahaan pinjaman hingga pengurangan volume pekerjaan membuat proyek ini berpotensi melebar ke ranah tindak pidana korupsi.
Penyidik kini masih mengumpulkan keterangan awal untuk menilai apakah dugaan-dugaan tersebut memenuhi unsur penyimpangan atau merupakan kesalahan administratif yang harus diperbaiki. Hasil pemeriksaan terhadap pihak kontraktor, pemborong, dan BPSDM akan menentukan arah kasus ini selanjutnya. (Nit)